Dalam suatu kesempatan perbincangan di kendaraan yang membawaku berangkat ke kantor  di suatu pagi, aku berbincang serius dengan yunior angkatan , tentang Nadar.
Perbincangan bermula saat ia menceritakan tentang telah ditunaikannya nadar yang telah diucapkannya ketika ia dan istrinya berniat untuk segera memiliki momongan setelah mereka menikah. Ia dan istrinya ini adalah pasangan usia muda yang keduanya baru menikah dan keduanya memiliki profesi kerja dengan domisili pekerjaan yang berbeda. Istrinya bekerja di sebuah bank plat merah di jakarta, sementara Ia bekerja sekantor denganku.
Dari awal sebenarnya mereka bersegera memiliki momongan, tapi di awal pasca pernikahan itu juga ada beberapa hal yang pada akhirnya berujung kepada kekhawatiran keduanya tentang kehadiran si buah hati. Atas dasar itulah, mereka berdoa dan menyampaikan nadar untuk segera diberikan momongan.
Kenapa sebuah permintaan dari hamba kepada Tuhannya harus disertai dengan nadar? Apakah tidak cukup sebuah permintaan do’a seperti biasanya dari seorang mahluk kepada Sang Khalik dengan tanpa embel-embel nadar? 
Keterbatasan pengetahuan agama kami berdua pada akhirnya membatasi jawabannya atas pertanyaan itu selain hal yang kami ketahui bahwa nadar adalah wajib hukumnya ditunaikan apabila apa yang kita kehendaki tercapai.
Tapi keterbatasan itu juga yang membuatku berpikir bahwa apa yang disampaikan sebagai “‘ud’unii istajiblakum” adalah hanya sebuah pintu bagi setiap mahluk dalam rangka meminta apapun yang dikehendakinya kepada Sang Khalik. Tapi kapan permintaan itu direalisasikan oleh-Nya? Jawaban atas pertanyaan ini adalah murni menjadi domain Alloh Sang Khalik. Ada kalanya sebuah permintaan dalam bentuk do’a itu segera terrealisasi dan ada juga yang hingga berkali-kali dikumandangkannya tetap saja tidak terrealisasi. Atau jawaban atas do’a itu baru terrealisasi kemudian hari disaat si pemohon telah lupa bahwa ia pernah memintanya. Dalam menghadapi hal ini, berbaik sangkalah kepada Sang Khalik, yang Maha Tahu kapan saat terbaik buat mahluknya. Wallohu a’lamu bishshowaab..
Apakah sebuah do’a harus disangatkan dan dimaknai sebagai sebuah do’a atau permintaan yang sungguh dengan disertai nadar? Pertanyaan ini juga menarik karena mungkinkah Sang Khalik meminta imbalan atas apa yang diberikan kepada manusia? Alloh Maha Kaya, mustahil bagi Alloh meminta imbalan dari mahluknya. 
‘ud’unii istajiblakum… Berdo’alah kepadaKu, niscaya aku kabulkan.. Tidak ada prasyarat disitu. Tapi kemudian menjadi hak prerogatif Sang Khalik untuk memutuskan kapan saatnya apa yang diminta mahluknya dipenuhi.