Tags
bambang soebadhi, bea cukai, bea dan cukai, gedung induk, gedung negara, gedung papua, go kandouw, identitas gedung negara, penamaan gedung negara, pusdiklat bea dan cukai, transjakarta
Mutasi beberapa waktu lalu menghasilkan kepindahan teman saya bergeser masih di sekitar Papua. Ia bergeser dari lantai 2, ke lantai 1. Itupun bisa dilalui lewat tangga darurat, dan tidak perlu menggunakan lift. Ya, ruangannya bergeser dari lantai 2 Gedung Papua, dimana Seksi Publikasi dibawah Subdit Humas berada, ke lantai 1, ruangan dimana Subbag Rumah Tangga dibawah Bagian Umum berada. Beruntungnya dia, karena kepindahannya walaupun di Papua, masih melihat sliwerannya busway Transjakarta jurusan Cawang – Tanjung Priok atau Pinang Ranti – Tanjung Priok.
Penamaan gedung-gedung di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di Rawamangun dengan nama-nama pulau besar di Indonesia, seolah memberi empati kepada teman-teman yang benar-benar berada di pulau yang namanya besar terpampang di muka gedung itu. Jadi suatu ketika seorang pegawai dihubungi temannya dari Sampit , ia akan bisa berkelakar, “kau di sebelah mana? Aku lagi di Kalimantan ini!”.
Bergeser sedikit dari Jalan A Yani, ke Jalan Bojana Tirta dimana Pusdiklat Bea dan Cukai berada, begitu melewati gerbang dan pos PKD, penamaan gedung-gedung yang ada jadi berubah. Namanya menggunakan beberapa nama Direktur Jenderal pendahulu. Bergeser jauh ke tepi laut, gedung megah lima lantai di jalan pabean nomer 1 milik Kantor Pelayanan Utama Tanjung Priok juga tidak memiliki nama khusus, tapi bisa dibilang seluruh stake holder, bahkan tukang ojek pun sepakat menamainya sebagai gedung induk.
Berbeda dengan di Rawamangun dan Tanjung Priok, di Tanjung Balai Karimun, tempat dimana Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau berada, asrama mentereng dengan warna ngejreng khas Marine Customs, Oranye Biru, berlantai tiga yang berjejer sepanjang Meral, menggunakan nama burung. Ada Asrama Rajawali, Asrama Elang, dan Asrama Garuda. Sedangkan dua asrama berikutnya menggunakan numeric, Empat dan Lima, dengan angka. Bangunan gedung lainnya adalah gudang tangkapan menggunakan alphabet, sedangkan gedung utama Kanwil DJBC Khusus Kepri dan gedung Pangkalan Sarana Operasi , tidak spesifik menggunakan nama.
Lalu bagaimana seharusnya menamai gedung Negara?
Menamai bagian dari memberi identitas. Rasanya tidak mungkin seseorang bermarga tertentu memberi nama anaknya dengan nama marga lain. Demikian juga dengan penamaan gedung Negara milik Bea Cukai, institusi yang secara vertikal berada dibawah Kementerian Keuangan, semestinya mengambil dari akar sejarahnya. Bisa dari nama Menteri Keuangan pendahulu, atau nama Direktur Jenderal pendahulu, atau jika gedung itu berada di wilayah yang punya history dengan Kepala Kantor Wilayah pendahulu. Atau bahkan bisa juga dengan nama pegawai yang secara historis mempunyai andil dalam perkembangan bea cukai di daerah tersebut. Tentu saja menamainya mesti dengan pertimbangan yang matang dan bila perlu dibuatkan rambu-rambu atau tata cara penamaannya.
Hasil penelusuran melalui google dengan keyword penamaan gedung Negara, saya mendapati Peraturan Daerah Kabupaten Landak nomor 8 Tahun 2010 Tentang Penamaan Fasilitas Umum, yang secara khusus memberi pedoman bagaimana menamai gedung atau tempat-tempat tertentu yang merupakan fasilitas umum, bukan gedung Negara, seperti yang saya inginkan.
Merujuk kepada draft Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Identitas Gedung Negara Direktorat jenderal Bea dan Cukai yang diupload di CEHRIS pada tanggal 08 April 2016, ruang lingkup identitas gedung Negara, lebih kepada tipologi satuan kerja, dan tidak memberi aturan tentang bagaimana seharusnya gedung-gedung yang ada di suatu satker – yang kebetulan memiliki bangunan gedung yang banyak, diberikan identitas. Saat menulis ini, saya sedikit berharap, ada hendaknya disisipkan ketentuan tentang penamaan gedung-gedung agar nama yang ada nantinya lebih dikenal masyarakat dan meningkatkan citra DJBC tanpa meninggalkan kearifan lokal.
Khusus di Tanjung Balai Karimun, saya rasa penamaannya tidak juga perlu menumbuhkan rasa empati dengan menggunakan nama Tarempa, Dabo Singkep atau Sambu Belakang Padang, karena masih sama-sama di luar Jawa. Apalagi ketiga nama itu akan menjadi sejarah mengingat akan dilebur ke kantor terdekat dan hanya menjadi kantor bantu. Bagus juga kalau penamaannya melibatkan para purnabhakti yang ada, yang jumlahnya menurut data yang saya peroleh, ada seratus orang lebih, dan tinggal di Tanjung Balai Karimun. Sebut saja nama pendahulu Kepala Kanwil yang melekat di ingatan mereka, para purnabhakti itu, seperti Bambang Soebadhi, mengikut satu nama gedung mess pegawai yang sudah menggunakan nama Kakanwil pendahulu, GO Kandouw.
Mudah-mudahan urun rembug ini bisa memberi warna peringatan ulang tahun ke-70 Bea dan Cukai menuju Bea Cukai Makin Baik.