Keresahan dan kekhawatiran seseorang apabila menerima sesuatu tugas atau penempatan baru di suatu daerah yang sama sekali baru diinjaknya adalah sesuatu yang lumrah. Keresahan dan kekhawatiran itu bukan hanya sekedar pertanyaan apakah Ia akan sanggup melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya, tapi juga menyangkut apakah Ia akan sanggup beradaptasi di daerah yang sama sekali baru baginya itu. Kalaupun sanggup, berapa lama Ia butuh waktu beradaptasi? Atau seandainya Ia-pun melawan dengan keadaan, sampai berapa lama kemudian Ia akan menyerah dengan keadaan?
Lumrah.. Keadaan seperti itu jugalah yang kadang membuat seseorang berpikir ulang untuk membawa serta keluarganya, anak dan istrinya , ke lokasi penempatan yang baru itu. Karena kekhawatiran itu akan berlipat dari kekhawatiran hanya menanggung dirinya sendiri, akan ditambah juga dengan kekhawatiran anak dan istrinya. Double atau triple kekhawatiran inilah yang akhirnya membuat seseorang memutuskan untuk membiarkan Ia yang mengalah menjenguk keluarganya seminggu sekali ( PJKA = Pulang Jumat Kembali Ahad ), dua minggu sekali, tiga minggu sekali, atau sebulan sekali tergantung situasi dan kondisi yang ada. Syukur-syukur dapat kesempatan tugas, jadi tiket pulang-pergi bisa di-cover dinas, alias abidin (atas biaya dinas).
Kekhawatiran seperti ini jugalah yang sempat menerpaku saat menerima penempatan di sebuah kota yang terletak di pulau terbesar di Indonesia dimana aku sama sekali belum pernah menginjaknya, Sampit di Kalimantan Tengah. Coba googling gambar, pake kata “Sampit” saja, akan nongol di antrian pertama adalah gambar menyeramkan berisi penggalan kepala sisa kerusuhan tahun 2001 ( herannya kok nggak masuk daftar blokir kemenkominfo ya?). Bukan itu saja, sampai sekarang, setiap kali mengawali pembicaraan tentang dimana sekarang aku bertugas, jawaban itu langsung me-reset lawan bicaraku tentang kerusuhan tahun 2001 yang banyak menelan korban jiwa dari salah satu suku pendatang di kota itu. Cerita-cerita tentang kerusuhan tahun 2001 itu akan sering aku dengar di kemudian hari setelah sekian bulan penempatanku di Sampit, dari sebagian anggotaku yang ber-suku Dayak kalimantan.
Serem… Tapi, you have to face it!! Yup! Harus dihadapi dan dijalani, karena aku tidak dalam posisi menawar atau bahkan merajuk menolak amanah di tempat itu dan meminta amanah di tempat lain yang sesuai seleramu.. hehehe.. jalani saja, bagian dari tour of duty, tanpa perlu embel-embel cengeng di belakangnya.
Rest of it, dengarkan banyaknya nasehat dan alert dari teman-teman dekat yang dengan tulus memberikannya yang mampir di telingaku semenjak keluarnya penempatan ini : “jalani saja..”, “ojo medok”, ” sing penting slamet”.. (idem dengan namaku.. hihihi..), sampai “ojo lali sholat..”
semuanya bermuara kepada menjaga alert-ku untuk tetep ” mikul duwur, mendhem jero” atau kalau kata orang melayu : “dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung”.. so, bismillah, karena disinipun, di bumi Kalimantan ini, pun adalah bumi-nya Alloh yang tunduk dan patuh hanya kepada-Nya.
Wallohu a’lamu bishshowaab..
disinipun bumi Alloh
05 Monday Mar 2012
Posted kontemplasi
in
Demi masa, demi tempat, demi kesempatan, disuatu waktu, disuatu tempat, disuatu kesempatan, perasaan manusia selalu memainkan pikiran dan perilaku seseorang, ada pepatah dari cina, kalo tdk salah artinya, muka tebal-hati hitam, yg byk membuat org menjadi sukses.
siap mas rahmad.. dongo dinongo..