Tags

, , , ,

Ada satu hal yang sering mengganjal di hati tatkala menjadi makmum dari sebuah jamaah sholat, yakni kekurangrapatan shaf. Rasanya mengganjal jika saya dan jamaah makmum di sebelah saya menjaga jarak dengan membentangkan sajadah sendiri dan membatasi dirinya dengan jamaah lainnya. Betul bahwa Ia menjadi satu bagian makmum dari imam yang sama, tapi alangkah indahnya jika sajadah itu biarkan Ia bentangkan horisontal-karena telah terlanjur dibawanya- atau lipatlah separo khusus mengalasi tapak sujud mukanya, dan membiarkan kaki-kakinya bersentuhan di ujung jari dengan makmum lainnya.
Mengganjal rasanya di hati bila saya berada dalam satu barisan shaf yang tidak mau merapatkan diri sesama jamaah meskipun secara formalitas imam selalu mengingatkannya : lurus dan rapatkan shaf. Prakteknya tetap saja, ada jarak beberapa inchi antar jamaah. Apa yang semestinya kita rasakan dalam satu bagian panjang shaf dalam sholat? Menurut saya, rasanya kita adalah sama, hamba-Nya. tidak ada status sosial yang mesti kita tunjukkan di hadapan Sang Khalik meskipun sudah pasti merk baju antar jamaah berbeda, meskipun bau parfum yang ditebarkan baunya berbeda, meskipun pangkat yang ada di pundak tiap jamaah juga berbeda. Alloh subhanahu wata’alaa Maha Tahu soal itu.
Menjadi bagian dari sebuah jamaah shaf dalam sholat berjamaah semestinya menjadi momen yang tidak hanya kita berharap reward 27 kali lipat dibanding apabila kita menjalankannya sendirian. Kegiatan ini semestinya, meskipun mungkin bisa dirasakan hanya pada saat menjadi bagian dari shaf dalam sholat itu, menjadikan kita merasa bahwa kita adalah satu bagian dari keluarga muslim. Apa yang kita rasakan dalam satu bagian keluarga, semestinya juga adalah memahami bahwa kita ternyata tidak seharusnya banyak berselisih.
Ijinkan saya mengutip sebuah hadits yang saya buka dari Internet yang artinya :
dari Abu Mas’ud al Badri, Ia berkata : Dahulu Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam biasa mengusap bahu-bahu kami, ketika akan memulai sholat, seraya beliau bersabda : ” Luruskanlah shafmu dan janganlah kamu berantakan dalam shaf; sehingga hal itu membuat hati kamu juga akan saling berselisih” (shahih : Muslim no. 432)
Karenanya, jangan anggap ucapan Imam sebelum memulai sholat yang meminta “shaf lurus dan rapat” atau kadang ditambahi ” HP mohon dimatikan”, bukannya tanpa alasan. Ia secara tidak langsung meminta kita yang jadi makmumnya, untuk menjadi satu bagian besar gerakan jamaah sholat, jamaah keluarga muslim.
Mari , lurus dan rapatkan shaf kita dan jadikan sajadah-sajadah itu hanya sebagai pembatas saat sholat sendirian agar orang tidak melintasi kita saat sholat, dan tidak menjadikan kita, sesama jamaah makmum , terbatasi oleh tepian sajadah.
wallohu a’lamu bishshowaab.