tepat tiga hari kepulangan emak, kami, anak-anaknya yang berjumlah sembilan, berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang mendesak diputuskan. hal-hal yang mesti diputuskan malam itu juga karena kesempatan kami bisa berkumpul dalam formasi lengkap adalah langka, bahkan dalam momen lebaran hari raya iedul fitri sekalipun.
tidak ada rasa sedih berlebihan yang terlihat diwajah kami di kesempatan itu. rasa sedih karena kehilangan orang terkasih yang sewajarnya saja yang nampak dari raut muka kami. sisanya adalah RASA BANGGA yang mesti saya tulis dengan huruf besar. ya, rasa bangga itu justru yang akhirnya mendominasi topik pembicaraan kami karena hal-hal mendesak dimusyawarhkan tadi sudah dengan cepat diputuskan bersama. rasa bangga karena kami memiliki orang tua yang luar biasa, tentu saja di mata kami dan versi kami.
kami bersembilan sepakat bahwa manajemen yang orangtua kami terapkan dalam mengelola rumah tangga adalah murni berdasar hitung-hitungan alqur’an, matematika alqur’an. kami semua menyadari bahwa kami dibesarkan tidak dengan limpahan kekayaan materi yang membuat kami bisa melalui jenjang pendidikan diatas rata-rata di lingkungan sekitar kami. kami hanya dibesarkan oleh seorang bapak yang mempunyai profesi tukang batu yang tentu saja tidak memiliki fix income sebagaimana pegawai kantoran. tukang batu yang hanya akan dapat menerima upahnya setelah tetesan keringat telah bercucuran dari sekujur tubuhnya. upah itu bisa harian, mingguan atau borongan tergantung perjanjian yang disepakati dengan pemberi kerja. kondisi ini jugalah yang membuat orangtua kami memutuskan untuk membagi jenjang pendidikan yang lebih tinggi kepada anak laki-lakinya dibanding anak perempuannya. orangtua kami membuat skala prioritas demikian karena anak laki-lakinya akan jadi kepala rumah tangga jika kelak mereka telah memutuskan menikah.
manajemen yang menurut hitungan kami, akan selalu berdampak besar pasak dari tiang,mengingat kami tahu betul berapa nilai rupiah yang yang mengalir ke kantong orangtua kami dan berapa yang mesti dikeluarkannya dalam rangka membiayai kehidupan kami secara keseluruhan. kadang malah pengeluaran yang mesti keluar dalam rangka membiayai pendidikan kami berlipat karena secara bersamaan ada diantara anaknya yang masuk jenjang sekolah yang lebih tinggi. itu menurut hitungan kami, dimana saat itu kebisaan kami hanyalah meminta dan menyampaikan kebutuhan kami yang mesti dipenuhi dalam rangka proses pendidikan. sungguh jahat kami saat itu karena tidak bisa mandiri dan membantu pembiayaan pendidikan yang menjadi beban orangtua kami.
kami juga tahu bahwa kondisi keterpaksaan yang ada memaksa orangtua kami berhutang sementara ke warung tetangga kami untuk kebutuhan dapur. tapi posisi hutang ini akan menjadi skala prioritas orangtua kami untuk melakukan pelunasan hingga sisanya itulah yang bisa kami nikmati sampai ada kelanjutan rizki yang turun di kesempatan berikutnya.
sebuah manajemen yang kadang dengan apa adanya disampaikan bahwa orangtua kami masih senantiasa direpoti oleh anaknya yang telah berkeluarga dan baru belajar membangun dan memanage rumahtangga. bahwa kadang juga dengan keterpaksaan disampaikan bahwa mereka tidak memiliki apa yang dibutuhkan, tapi sesaat hari berikutnya bisa dipenuhinya apa yang menjadi kebutuhan dan diminta oleh anaknya.
kami sepakat bahwa manajemen yang dipakai oleh orangtua kami adalah manajemen alqur’an. sebuah manajemen yang menyerahkan hitung-hitungan mungkin dan tidak mungkinnya dipenuhi kebutuhan keluarga kepada Alloh semata. orangtua kami sadar bahwa tugas mereka hanya bekerja sebisa yang mereka mampu untuk mencukupi kebutuhan kami, sembilan orang anaknya.
jadi, dalam kondisi saat ini, kami anak-anaknya yang jauh lebih baik dari nasib pekerjaan orangtua kami, malu rasanya untuk mengeluh tentang betapa beratnya membiayai sekolah anak-anak kami yang bilangan nominalnya saja paling banyak hanya separoh dari yang orang tua kami tanggung.
semestinyalah kami tetap berguru kepada guru terdekat kami, orangtua kami dalam menata dan memanage rumah tangga kami melalui manajemen alqur’an.
subhanalloh..
matematika alqur’an
03 Tuesday Jul 2012
Posted kontemplasi
in
Manajemen Al-Qur’an: Ibu adalah pendidik untuk anak-anaknya.Metode pendidikan yang diterapkan adalah metode pendidikan yang “sangat bijak dan penuh kasih sayang”. Beliau tahu betul kondisi satu persatu dari ke sembilan anak didiknya, dari mulai tingkat emosionalnya,karakternya,kemauannya sampai kepada detail kondisi kesehatan anak-anaknya (“sebagai murid”).
Ibu juga seorang entrepreuneur sejati yang melebihi ketangguhan Entrepreneurnya Chaerul Tanjung (maaf). Betapa tidak, Ibu bisa memanfaatkan potensi sepetak kebun dibelakang rumah semaksimal mungkin,sehingga bisa mengatasi dan melewati krisis ekonomi yang sering menerpa pada saat – saat Bapak menjadi penganggur musiman (musim hujan dan musim bulan sebelum puasa sampai jauh sesudah lebaran biasanya tidak ada orang “mbangun”). Daun mlinjo, daun pisang,daun suruh bahkan petai selong dan daun petainyapun bisa jadi uang untuk menutup kebutuhan dapur demi isi perut ke sembilan anak-anaknya.Buah pepaya, buah pisang , buah mangga , buah nangka, yang tak seberapa, bahkan buah asen blimbing sekalipun, semuanya ibu petik dengan ceria untuk disulap menjadi hidangan menja makan sederhana dan bekal (“sangu”) bagi anak-anaknya yang mau berengkat ke sekolah. Ibu juga entrepreuneur sejati karena beliau ahli dalam kalkulasi ekonomi masa depan, dan penggunaan segala sumber daya yang ada secara efisien dan dengan produktivitas yang tinggi.
Ibu…, tanpa ketangguhan dan tak pernah mengeluh kpd anak – anak maka takkan mungkin keseimbalan anak-anak bisa seperti ini. Semoga ibu dan bapak terang dan bahagia dialamkubur sampai dialam pengadilan nanti. Anak – anakmu selalu mendoakanmu setiap saat. Ya Allah berilah kasih sayang kepada Ibu dan Bapak, seperti mereka berdua mangasihi dan menyayangi anak-anaknya.Amiin.