Masih ingat film Sang Pemimpi yang dibuat berdasar novel Andrea Hirata? aku ingat betul adegan saat Aray , Jimbron dan Ikal ikut dalam barisan shaf sholat di musholla. Saat tiba waktunya para makmum menjawab akhir dibacakannya surah Alfatihah, Aray -dengan tipikal anak-anak seusianya- melantunkan lafaz “aamiin” yang jauh lebih panjang dari makmum yang lain. Lantunan lafaz ini bahkan divisualisasikan membuat sang imam mengernyitkan dahi dan hampir saja menoleh untuk mencari tahu siapa gerangan sang makmum yang melafazkan “aamiin” tidak sama panjang.
Adegan di film Sang Pemimpi itu menurutku sebenarnya terjadi lebih karena sifat iseng Aray yang mungkin berniat “do something different” yang mungkin juga tujuannya bisa membuat Ikal atau bahkan makmum lainnya tersenyum.
Potongan adegan seperti terjadi di film Sang Pemimpi itu, bisa saja banyak terjadi dalam cuplikan kehidupan. Bahkan mungkin setiap orang pernah mengalaminya, khususnya bagi mereka yang berani tampil dan menunjukkan kalau ia berbeda dengan kebanyakan. Saat dimana seseorang kemudian berani mengungkapkan pendapat yang berbeda atau bahkan sama sekali berbeda, saat itulah ia seolah telah mengucapkan lafaz “aamiin ” yang tidak sama panjang seperti terjadi di adegan film Sang Pemimpi. Saat itulah bisa saja orang lain menertawakannya, mencibirnya, memandang sinis kepadanya, atau bahkan memarahi dan memusuhinya.
Dalam kaidah sebenarnya, menurutku juga, apa yang dilakukan oleh Aray adalah kurang tepat. Semestinya ia bisa memilih media lain untuk eksis dengan keperbedaannya atau sekedar keisengannya. Tapi, aku juga mafhum bahwa Aray masih anak kecil yang masih banyak membutuhkan bimbingan bagaimana semestinya ia selaku makmum membantu membuat suasana sholat yang khusyuk bagi segenap jamaah, bukan malah sebaliknya.
Menjadi “berbeda” – seolah seperti melantunkan lafaz “aamiin ” yang tidak sama panjang seperti dalam adegan film Sang Pemimpi – seyogyanya ditempatkan dalam situasi yang tepat dan on the track. Menjadi berbeda dalam sebuah lingkungan yang memaksa kita menjadi pusat perhatian, seyogyanya tetap dalam kondisi dimana keperbedaan itu akan menjadi panutan dan terjangkau oleh segenap pemerhati dan tidak menjadikan kita seolah berdiri diatas menara gading.
Betapa sesungguhnya dengan mengangkat tema cerita atas apa yang dilakukan oleh Aray, semestinya ada keberlanjutan yang kongkrit dengan memberikan pemahaman bahwa tindakan berbeda yang dilakukannya adalah kurang tepat dan bukan pada tempatnya. Semestinya sebagai seorang makmum, Aray harus “sama” dengan makmum lainnya dalam melafazkan “aamiin” .