Tags

, , , ,

Dalam sebuah kesempatan mendengar khutbah jum’at di mesjid yang saya lupa namanya, yang letaknya di sebelah kanan setelah pintu keluar gerbang kampus STAN di sisi Bintaro, saya terkesan dengan isi khutbah. Dalam rangkaian khutbah itu, ada satu kalimat nukilan dari al-Qur’an : Al Baqarah ayat 286 : 

“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha
Laha ma kasabat wa alayha maktasabat”
Alloh tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.

Yang menarik adalah pendapat yang disampaikan oleh khatib yang menyatakan bahwa konteks dari ayat ini menurutnya lebih kepada bahwa tidak semestinyalah seseorang menyatakan bahwa beban yang ditanggungnya telah melebihi kapabilitasnya sementara ia sendiri belum melakukan usaha  kebaikan hingga titik limitnya.  Semestinyalah seseorang mengusahakan kebaikan sebisa mungkin dan mendorongnya hingga batas maksimum yang bisa diusahakannya. Konteks lainnya dari ayat ini sebagaimana disampaikan oleh khatib adalah mengajak segenap jamaah untuk tidak  terlalu gampang menyerah dalam mengusahakan kebaikan. 

Kebaikan menurut saya  itu universal dan tidak mesti terkait dengan hal-hal yang besar dan wow..   Dan dalam rangka mengharap reward pahala atas kebaikan yang kita lakukan itu mesti dibalut dengan keikhlasan, keimanan dan tauhid. 
Kebaikan namanya jika kita bisa berbaik dengan tetangga meskipun hal ini sepertinya sepele. Kebaikan juga namanya jika kita menghormati orang lain dan menebarkan salam dan senyum meskipun tidak semua orang perlu tahu bahwa kita tengah menghadapi permasalahan. Kebaikan juga namanya jika kita mau menyingkirkan buruk sangka dan menggunjingkan keburukan orang apalagi itu adalah orang-orang terdekat kita, baik saudara maupun rekan sekerja. Kebaikan lagi namanya juga jika kita bisa senantiasa menyisihkan sebagian dari rizki kita untuk sedekah dan amal jariyah.

Push to the limitnya adalah tetap membaiki dan tidak mengajak berantem tetangga meskipun ia selalu menyakiti kita dengan menyajikan setelan musik kenceng hingga tengah malam saatnya kita istirahat.. hehehe..

Push to the limitnya adalah tetap menghormati dan menebarkan salam dan senyum meskipun itu terhadap orang yang paling kita benci karena pernah menyakiti perasaan kita melalui ucapan dan tindak lakunya. Meskipun juga kita tengah menghadapi permasalahan karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli tiket pulang menjenguk keluarga yang sudah tiga minggu ditinggalkan… xixixi..

Push to the limitnya lagi adalah tetap menutup mulut meskipun kita memegang segudang keburukan atau aib dari orang-orang terdekat kita , baik saudara maupun rekan sekerja. Lebih baik memilih membicarakan hal lain yang tengah jadi topik hangat tentang kekalahan Manchester United dari Chelsea karena banyaknya blunder dari bek .. 🙂 

Push to the limitnya lagi dan lagi adalah mau menyisihkan bukan hanya sekedar dua setengah persen dari rizki kita untuk disedekahkan dan diamaljariyahkan. sisihkan lebih dari sekedar itu, lima persen, sepuluh persen, atau hingga separuh dari rizki kita untuk kebaikan sedekah dan amal jariyah. Meskipun karena itu kita jadi tidak bisa makan penyetan ayam goreng kampung di warung jawatimuran Ayu Banyuwangi dan hanya sanggup makan penyetan tempe goreng  dan telor dadar goreng.. hehehehe…

Bisakah? mudah-mudahan bisa, karena ada janji reward pahala disana sepanjang kita ikhlas melakukannya.. insya Alloh..