Tags

, , ,

pak noordan

Terhitung awal Desember lalu, aku telah melepas atas nama kepentingan dinas seorang rekan kerjaku. Ya, aku melepasnya karena secara dinas, masa kontrak kerjanya telah usai, ia memasuki masa purnabhakti alias pensiun. Ia, sejatinya adalah salah satu ( dan satu-satunya ) staf andalanku di unit dibawah pimpinanku. Tapi, sejatinya juga, ia bukan bawahanku. Ia semata- mata menjadi bawahanku hanya atas nama dinas, sisanya ia adalah rekan kerja dan bapak ( seolah aku merindukan sosok bapak yang telah meninggalkanku di pertengahan tahun 2010 lalu ).
Dari garis keturunan, ia adalah bersuku Banjar. Dan saat pertama kali bertemu, dimana namanya direkomendasikan sangat kuat oleh pendahuluku, aku berpikiran bahwa ia sebenarnya lebih tepat dilahirkan sebagai keturunan suku Jawa, saat meskipun saat ia berkata-kata, logat banjarnya sangatlah kental.
Tapi , sepanjang pergaulanku selama sekian lama berdinas di Sampit, aku tetap berkeyakinan bahwa semestinyalah ia lahir sebagai keturunan suku Jawa.
Saat awal Desember tahun 2012 itulah, ia telah melepas segala kewajiban dinas yang mengikutinya selama sekitar 30 tahun ini. Dan di suatu kesempatan acara kecil pelepasannya, kata-kata yang diucapkannya tidak terbata dan tegas bahwa ia sudah siap memasuki masa purnabhakti. Praktis interaksiku dengannya dalam rangka dinas kurang setahun genap.
Sejatinya, ia tidak pernah purnabhakti, dan tetap menyibukkan diri dengan bhaktinya dalam bentuk lain dimana ia telah mempersiapkan itu sebelum hari H itu tiba. Ada kesibukan yang selanjutnya ia intens lakukan yaitu membuka usaha laundry dan klub sehat herbalife yang selama ini juga digelutinya bersama istri tercintanya. Ruko kecil yang selama ini sudah ada, kini berjejer menjadi tiga lapak dimana satu pintu disewakan. Ia tidak purnabhakti dan tetap saja berkesibukan sepanjang hari mengelola usaha sederhana itu.
Dan aku, jika membutuhkan semangat postif yang ada padanya dan istrinya, aku akan menyambangi ruko kecil sederhana itu. Semangat dan energi positif yang ada padanya dan istrinya seolah tidak pernah padam apalagi dengan hanya sepenggal kata “pensiun”. Aku menyambangi lapak sederhana mereka sekedar mengingatkan kembali, bahwa suatu masa aku juga akan menjalani masa itu, dan semestinya juga aku tidak perlu terpaku kepada masa cut-off yang bernama “pensiun”. Di ruko sederhana ini, aku mendapati semangat positif selama aku masih menjalani penugasan di Sampit, Kotawaringin Timur.