kata ini ternyata menjadi sedemikian populer saat ini, saat dimana 9 april 2014 nanti akan diadakan pemilu legislatif. pemiu yang akan mendudukkan – dari asal kata duduk – wakil-wakil rakyat yang terhormat di DPRD, DPR, dan DPD. di setiap tikungan jalan dan tempat lain yang eye catching, sudah bertebaran foto para calon legislatif dengan tampang senyum yang dipaksakan.
duduk juga sedemikian penting di lembaga-lembaga birokrasi ataupun lembaga swasta yang ada kaitannya dengan struktur kepemimpinan. konotasinya adalah kata duduk yang diawali dengan ke dan akhiran an, kedudukan. siapa yang memiliki kedudukan dalam sebuah lembaga birokrasi negri atau swasta, sudah pasti ia adalah orang pilihan dan orang penting. artinya juga, ia mesti dihormati, diberikan fasilitas rumah, fasilitas mobil , tunjangan komunikasi, dan tunjangan lainnya yang sederet ukur dengan resikonya di kedudukan yang diampunya.
duduk, menjadi kata yang untuk bisa meraihnya butuh perjuangan keras dan pengorbanan. tidak ada anugerah duduk yang diraih seseorang dengan berleha-leha. jika bisa pun, saat ia bisa membangun “tempat” duduk ya sendiri, ia mesti bekerja keras mempertahankan supaya “tempat” duduk yang ia miliki tersebut tetap bisa berdiri tegak menopang kedudukannya, tidak roboh dan tumbang.
demikian juga dengan duduk di sebuah angkutan umum yang rutenya luar biasa padatnya. mendapat tempat duduk, di sebuah angkutan umum yang murah dan terjangkau, menjadi barang langka. previlege untuk bisa mendapatkannya anda harus ekstra keras dengan sabar menunggu dan pandai membaca apakah orang yang anda tunggui tempat duduk-nya turun di halte terdekat, atau anda memang berhak mendapatkannya karena masuk dalam kategori : wanita hamil, menggendong anak kecil, sakit yang berakibat tidak bisa tahan lama berdiri, atau tua renta.
duduk juga bisa menjadi sebuah penghormatan saat anda bertandang ke rumah orang lain. jelas, jika anda “bukan siapa-siapa”, apalagi seorang debt collector, tawaran untuk dipersilakan duduk akan menjadi barang langka.
duduk juga menjadi sebuah lambang egaliter, lambang penguasaan, jika ia berafiliasi dengan me dan i, menjadi “menduduki” atau dengan pe dan kan, menjadi “pendudukkan”. sebuah kata negatif yang berkonotasi invasi dan imperialis di jaman dulu.
terakhir, duduk bisa berubah menjadi sebuah malapetaka. ya, jika kata “duduk” bergandengan tangan erat dengan awalan “ter”. saya sangat berharap kita semua dijauhkan dari kombinasi awalan ter dengan kata “duduk” ini. lihaglah rangkaian kalimat ini :
“anak itu jatuh terduduk dari sepeda yang dinaikinya”
“bapak itu terduduk saat ia divonis sembilan tahun oleh pengadilan”
“setelah sekian lama berkutat dengan hutang, pemilik perusahaan itu akhirnya terduduk dan bangkrut”