Antrian check-in di counter perusahaan penerbangan low cost carrier saat saya baru tiba, sudah tidak panjang. pagi ini tripku adalah tujuan Batam.
Saat sudah di depan petugas check-in, saya mengajukan permintaan untuk duduk di posisi agak depan. Saya sudah hapal, kalau proses penurunan penumpang di Bandara Hang Nadim hanya akan menggunakan garbarata. Dan itu pasti dipasang hanya di pintu depan. Karenanya, proses turun pesawat jika ditempatkan di posisi duduk agak di belakang apalagi di belakang sekali, akan makan waktu. Dan ini bisa mengurangi kesegeraan perjumpaanku dengan keluarga tercinta karena masih harus menempuh rute naik taksi ke Punggur dan naik speed boat ke Tanjung Uban yang hanya ada interval waktu tiap setengah jam. Hitungan rutinku, dengan ketibaan pesawat pagi dari Jakarta ini, saya bisa menaiki speed boat jam 08:30. dan artinya, jam 09:00 sudah bisa nyampe rumah.
Permintaan saya untuk dapat seat agak di depan kemudian direspon oleh petugas check-in counter dengan menyatakan bahwa seat depan hanya tersisa di posisi tengah. Maksudnya posisi diapit, bukan di jendela atau gang. Posisi seat ini bukanlah seat favorit, karena umumnya penumpang akan merequest posisi seat di gang atau di jendela. Alasannya mungkin sederhana saja, di gang supaya gampang keluar masuk toilet, apalagi buat yang “beser” atau biar cepat turun. Sedangkan posisi di jendela mungkin biar bisa liat pemandangan atau biar nggak terganggu keluar masuknya penumpang di row dia yang hendak ke toilet, karena bisa saja dia mau tidur selama satu setengah jam perjalanan.
Saya kemudian meng-iyakan posisi seat di-apit tersebut. seatnya berkode B atau E, dan itu nggak masalah buat saya. Ternyata saya kemudian mendapatkan satu alasan tambahan kenapa posisi seat di-apit atau di kode B atau E itu bukan seat favorit. Alasan itu adalah ketidak jelasan siapa pemilik handrest atau sandaran tangan yang ada di kanan kirinya. hahahaha.. ini alasan yang jelas mengada-ada.
Tapi itu benar saja rasanya jika hak untuk merasakan nyaman bagi sesama penumpang itu juga berlaku bagi pemilik seat di-apit. Pastinya penumpang semacam saya juga rasanya malas saja kalau harus menempatkan posisi kedua tangan di-apit karena handrest sudah “dibooking” juga oleh penumpang kiri kanan saya yang kebetulan ukuran body-nya tidak kurus. Saya merasakan seperti anak manis yang diapit oleh dua raksasa yang berebut ruang kelegaan dan kenyamanan. Untungnya, saya sering mendapatkan posisi di-apit itu dengan keleluasaan menempatkan kedua tangan saya di hand-rest karena kebetulan tetangga kanan kiri saya cukup berempati. Saya yakin mereka berpikir, “kasihan penumpang sebelah saya, sudahlah susah menikmati pemandangan, keluar masuk mau ke toilet pun susah. ” 🙂
Kesamaannya menempatkan tangan di handrest itu seperti menempatkan posisi mobil di jalan depan rumah yang kebetulan tidak ada garasinya. Masalahnya bukan mobil kita, tapi mobil temen kita yang kebetulan bertamu di rumah kita. kalau ditempatkan di posisi depan rumah tetangga, saya jamin ia akan bersungut-sungut dan menggerutu tidak senang.
Kesamaannya lagi di lingkungan kerja adalah jika institusi dimana kita bekerja sudah mendapatkan hak remunerasi plus tunjangan kinerja plus premi yang belakangan ini rajin mengucur, sementara instansi samping kanan kiri kita belum. Pastinya mereka akan bersungut-sungut dan menggerutu karena betapa mereka juga sebenarnya berhak mendapatkan hal yang sama.
Berawal dari handrest tadi, bergeser ke bertetanggaan, intinya bisa saja hal-hal yang bisa menimbulkan menggerutu dan bersungut-sungut bisa dikomunikasikan dengan baik.
Posisi handrest tadi, saya biasanya berbagi dengan penumpang kanan kiri saya yang berporsi besar dengan mengambil bagian “agak depan”, sementara biar dia mengambil di bagian belakang. Bersinggungan dikit tidak apalah, asal bukan muhrim.
Posisi tetangga yang ketempatan mobil teman yang bertamu ke rumah kita, biasanya saya akan kulonuwun, permisi dan minta maaf atau membiarkan tamu saya masuk dulu ke rumah saya  dan meminta kunci mobilnya untuk saya tempatkan di tempat yang agak longgar dan pastinya agak jauh dari rumah saya.
Posisi di lingkungan kerja beda institusi ini yang bikin saya bingung. Walhasil, saya hanya bisa berdo’a, mudah-mudahan tetangga institusi ini tidak rewel dengan bersungut-sungut dan menggerutu apalagi sampai “ngampleng”, sementara kita sudah memasang muka manis maksimal.

piss..