Tags
agro, CPO, CPO dan turunannya, immigresyen, jawa timur, kelapa sawit, konflik etnik, madura, malaysia, mencari nafkah, menjual sawah, passport, pejuang keluarga, pelancong, sampit, sinar mas, tenaga kerja, wilmar
Entah sudah garis tangan dan suratan takdir, perjalanan pulang saya menemui keluarga selalu bersama dengan orang-orang yang sangat dinantikan keluarga di kampungnya. Ya, penempatanku di Sampit, kota kecil yang sedang bergerak cepat membangun-seperti slogannya-didominasi oleh pekerja pendatang dari Jawa, terutama Jawa Timur, bahkan dari suku Madura, sebuah suku yang kurun lebih dari satu dekade yang lalu pernah dipaksa angkat kaki dari kota ini. Saya rasa, kebutuhan ekonomi mengharuskan mereka segera melupakan memori satu dekade yang lalu dan memaksa mereka menginjakkan kaki kembali tanah di Sampit. Tentu saja dengan satu harapan, ada perbaikan ekonomi bagi keluarganya di kampung.
Sampit saat ini sedang giat bergerak membangun industri perkebunan kelapa sawit dan instalasi pengolahannya hingga menjadi CPO dan turunannya. Sekedar data, kurang lebih ada 10 perusahaan lebih yang telah membuka lahan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahannya. masih ada beberapa perusahaan lagi yang akan segera beroperasi. Sebagian besar adalah anak perusahaan dari perusahaan besar persawitan yaitu Agro, Sinar Mas dan Wilmar.
Daya serap tenaga kerja dalam rangka menggerakkan perusahaan-perusahaan inilah yang membuat sedulur-sedulur dari Jawa berduyun-duyun mendatangi Sampit. Tenaga kerja yang berangkat dari kampungnya , mudah-mudahan dengan tanpa menjual sawah atau sapinya. Tenaga kerja yang mudah-mudahan bisa secara rutin mengirimkan hasil jerih payahnya ke anak istrinya di kampung, meskipun mungkin secara nominal tidak bisa disamakan dengan perolehan mereka di negeri jiran, Malaysia. Setidaknya mereka bisa berbangga hati bekerja di negerinya sendiri tanpa ada rasa was-was pengusiran dari immigresyen seperti di Malaysia. Tanpa rasa was-was menjadi pendatang haram karena passport yang membekali mereka ke negeri jiran ternyata passport pelancong, bukan passport pekerja.
Banyak harapan yang bisa disandarkan di tanah yang masih menjadi bagian dari negeri sendiri, Indonesia. Harapan yang mudah-mudahan tidak akan pudar karena konflik etnik di kemudian hari seperti pernah terjadi di dekade yang lalu. Mudah-mudahan jalan mereka, para pejuang keluarga untuk mencari nafkah kehidupan ini senantiasa dimudahkan dan diberikan berkah.
Dan sekali lagi, rute kepulanganku menemui keluargaku, akan selalu bersama orang-orang yang ditunggu kedatangannya di kampung halaman dengan harapan membawa hasil jerih payahnya. Orang-orang yang senantiasa didoakan kesehatan dan keselamatannya. Aamiin..